KUMPULAN
PROBLEMATIKA MUNAKAHAT
Rukun Nikah
Rukun adalah sebuah prasarat yang harus dipenuhkan dalam pelaksanaan suatu
ibadah. Rukun nikah berarti pilar-pilar yang menjadi bagian penting yang harus
dipenuhkan dalam proses akad nikah. Adapun Rukun nikah yang harus ada dalam
sebuah akad nikah adalah:
a. Calon Suami.
b. Calon Isteri.
c. Wali Nikah
d. 2 Orang saksi
e. Sighat Ijab Kabul.
Wali dipenjara
Bila wali
dipenjara dan tidak mungkin dihubungi atau tidak boleh dihubungi maka yang
menjadi wali nikah adalah HAKIM yang dalam hal ini KEPALA KANTOR URUSAN AGAMA.
Ketentuan ini berdasar penjelasan MUGHNI AL MUHTAJ ILA MAANI ALFAADZIL MINHAJ
JUZ 3 HAL 159:
ولو غاب
الولي الأقرب) نسباً أو ولاءً إلى مرحلتين) ولا وكيل
لـه حاضر بالبلد، أو دون مسافة القصر، (زوج السلطان) أي سلطان بلدها أو نائبه لا
سلطان غير بلدها ولا الأبعد على الأصح؛ لأن الغائب ولي والتزويج حق لـه، فإذا تعذر
استيفاؤه منه ناب عنه الحاكم، وقيل: يزوج الأبعد كالجنون. قال الشيخان: والأولى
للقاضي أن يأذن للأبعد أن يزوج أو يستأذنه فيزوج القاضي للخروج من الخلاف. (ودونهما) أي المرحلتين (لا يزوج إلا بإذنه في الأصح) لقصر المسافة، فيراجع
فيحضر أو يوكل كما لو كان مقيماً. والثاني: يزوج، لئلا تتضرر بفوات الكفء. الراغب كالمسافة الطويلة. وعلى الأول لو تعذر الوصول إليه لفتنة أو خوف جاز
للسلطان أن يزوج بغير إذنه؛ قالـه الروياني . قال الأذرعي : والظاهر أنه لو كان في
البلد في سجن السلطان وتعذر الوصول إليه أن القاضي يزوج، ويزوج القاضي أيضاً عن
المفقود الذي لا يعرف مكانه ولا موته ولا حياته، لتعذر نكاحها من جهته فأشبه ما
إذا عضل، هذا إذا لم يحكم بموته وإلا زوجها الأبعد، وللقاضي التعويل على دعواها
غيبة وليها، وأنها خلية عن النكاح والعدّة، لأن العقود يرجع فيها إلى قول أربابها
لكن يستحب إقامة البينة بذلك ولا يقبل فيها إلا شهادة مطلع على باطن أحوالـها
1
Seandainya
wali yang terdekat baik wali nasab maupun wali waris wala' sejauh dua marhalah
(82 km dihitung dari batas kota ke batas kota lain) dan tidak ada wakilnya yang
hadir didalam kota atau kurang dari perjalanan yang memperbolehkan qasr (82 km)
maka Hakim yang menikahkan. Yang dimaksud hakim di sini hakim atau penggantinya
dalam wilayah kerjanya bukan hakim yang diluar wilayah kerjanya juga bukan wali
yang jauh, karena orang yang ghaib itu adalah wali dan menikahkan adalah
haknya, apabila wali itu udzur dalam memenuhi haknya maka yang mengganti adalah
HAKIM. Ada sebagian pendapat (Pendapat yang lemah) wali Ab’ad/yang lebih
jauh secara nasab berhak menikahkan
seperti bila wali dekatnya dalam keadaan gila. Al Shaikhan berkata: "yang
lebih utama Hakim memberikan izin kepada wali terjauh untuk menikahkan atau
wali terjauh memberikan izin kepada hakim kemudian hakim menikahkan, hal ini
diperuntukkan untuk keluar dari perbedaan."
(Dan apabila kurang dari masafah Qasr/82 km) Hakim tidak dapat menikahkan
kecuali dengan izin wali menurut pendapat yang kuat, karena jarak tempuh yang
dekat, maka perwalian harus dikembalikan kepada wali tersebut, kemudian wali
menghadirinya atau mewakilkan seperti halnya kalau wali itu menetap. Adapun
pendapat kedua, Hakim tetap menikahkan agar pengantin putri tidak merasa rugi
sebab tidak adanya kesetaraan (kafaah) harapannya hal itu seperti jarak tempuh
yang jauh. Sebagaimana permasalahan pertama (wali berada pada jarak tempuh yang
kurang 82 km) seandainya tidak dimungkinkan mencapai atau menemui wali karena
alasan fitnah atau ketakutan maka Hakim boleh menikahkan tanpa izin wali, ini
adalah pendapat Imam Royani. Imam
adzra'i berkata : Pendapat yang dzahir, sesungguhnya bila wali ada diwilayah
dimana perempuan itu tinggal, (tetapi) di dalam penjara pemerintah dan tidak
mungkin menemuinya maka Qadli/Hakim yang menikahkan, dan Hakim pula yang
menikahkan bila wali tidak ada dan tidak diketahui tempatnya, tidak jelas mati
atau hidupnya. karena menjadi udzurnya pernikahannya dari sisi sang wali, maka
hal ini seperti ketika wali adlah / membangkang. Hal ini apabila wali tidak
dihukumi/diputuskan mati, apabila diputuskan secara hukum telah mati maka yang
menikahkan adalah wali Ab’ad/terjauh. Hakim harus pula meneliti atas pengakuan
seorang perempuan bahwa walinya ghaib/tidak diketahui rimbanya dan atas
pengakuan bahwa dirinya sepi dari ikatan pernikahan dan iddah (masa tunggu)
karena sebuah akad kembali kepadanya dan atas pengakuannya namun disunnahkan
'mencari' kesaksian/bukti tentang hal itu dan pengakuannya tidak diterima
begitu saja kecuali dengan kesaksian yang ditinjau dari gelagat (ketika
melakukan pengakuan)nya.
2
Wali Ghoib (tidak diketahui rimbanya).
Seorang wali nikah tidak ada karena tidak diketahui tempatnya (ghaib), atau
bertempat tinggal ditempat yang jauh hingga kira-kira sejauh masafah qosr (82
km) perwaliannya berpindah kepada wali hakim tidak kepada wali yang jauh
(ab’ad). Tetapi tetap dianjurkan untuk meminta idzin kepada sang wali, sebagai
bentuk penghormatan terhadap orang tua. Penjelasan ini berdasar Kitab BUGHOYAH
ALMUSTARSYIDIN hal 203 dan kitab MUGHNI AL MUHTAJ ILA MAANI ALFAADZIL MINHAJ
JUZ 3 HAL 159:
)مسئلة ي)
غَابَ وَلِيُّهَا مَسَافَةَ القَصْرِ إِنْتَقَلَتْ الوِلاَيَةُ لِلْحَاكِمِ لاَ
لِلأَبْعَدِ فِى الأَصَحِّ نَعَمْ يَنْبَغِى إِسْتِئْذَانُهُ أَوْ الإِذْنُ لَهُ
خُرُوجًا مِنْ هَذَا الخِلاَفِ القَائِل الأَئِِ) بِهِمَّة الثلاَثَة
Seorang wali perempuan ghaib hingga masafah qosr, perwalian berpindah kepada
hakim tidak kepada wali yang jauh menurut pendapat yang kuat, tetapi dianjurkan
meminta izin kepadanya atau izin kepadanya, hal ini untuk menghindari perbedaan
pendapat tentang hal ini dari imam tiga.
wali anak zina .
Wali bagi anak hasil Zina yang lahir setelah perkawinan.
Apabila seorang perempuan melahirkan anak setelah sembilan bulan dari ijtimauz
zaujain, (kumpulnya suami isteri), kemudian isteri mengaku, bahwa sebelum kawin
dia telah berbuat zina dengan orang lain dan suami tidak mengakui anak
tersebut, bahkan ada sebagian dukun bayi yang mengatakan bahwa pada waktu
perkawinan si isteri sudah hamil. Meski demikian, anak ini tetap intisab
(diakui anak kandung) dari suami sahnya tersebut karena suamilah yang dianggap
shahibul firasy. Bila mengikuti pendapat ini berarti anak perempuan hasil zina
yang lahir lebih dari 6 bulan setelah pernikahan sepasang suami isteri, maka
wali nikahnya tetap sang suami.
Dasar Hukum GHAYATUT
TALKHIS 246:
نَكَحَ
حَامِلاً مِنَ الزِّنَا فَأَتَتْ بِوَلَدٍ لِزَمَنِ إِمْكَانِ وَطْئِهِ مِنْهُ
بِأَنْ وُلِدَتْ لِسِتَّةِ أِشْهٌرٍ وَلَحْظَتَيْنِ مِنْ عَقْدِهِ وَإِمْكَانِ
وَطْئِهِ لِحَقِّهِ
3
Seseorang
menikahi wanita hamil, kemudian anaknya lahir setelah masa yang memungkinkan
seorang suami menggauli isteri dengan gambaran isteri melahirkan setelah 6
bulan lebih sedikit dari akadnya dan memungkinkan berhubungan sebagai hak
suami. Dalam sebuah hadis disebutkan :
الوَلَدُ
لِصَاحِبِ الفِرَش
Anak itu
menjadi hak orang yang menjadi shahibul firasy (memiliki isteri)
Catatan : pendapat ini ditolak oleh al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel dengan
alasan bahwa pendapat itu dirumuskan disebabkan karena sulitnya mendeteksi
kehamilan pada zaman dahulu, sementara sekarang sudah dapat dideteksi dengan
mudah. Batas waktu terpendek dari sebuah kehamilan yang 6 bulan yang
memungkinkan seorang bayi lahir dengan selamat itu dihitung dari hubungan bukan
dari akad nikah. Bila nyata-nyata seorang anak perempuan itu hasil dari
hubungan yang tidak sah/zina, maka pernikahan anak perempuan ini, menurut
sebagian ulama walinya adalah HAKIM. Namun bila tidak secara nyata diketahui
hasil zina maka bisa mengikuti ketentuan diatas.
Wali bagi anak Hasil Wathi Syubhat.
Wathi
Syubhat adalah hubungan suami istri yang tidak bisa dipastikah halal dan
haramnya, Wathi SYUBHAT dapat diartikan pula dengan perbuatan senggama
seseorang atas wanita yang dalam prasangkaanya halal baginya, seperti hubungan
suami istri dalam perkawinan sah, ternyata dikemudian diketahui suami istri
tersebut masih semahrom. Menurut Syafi’iyyah Wathi syubhat terbagi atas tiga
macam :
1.
Syubhatul
Khukmiyah (hukum), semisal orang yang menjima’ perempuan yang dianggap
isterinya.
2.
Syubhatul
machal (perempuannya), semisal orang yang menjima’ budak perempuan yang
musytarokah (milik bersama).
3.
Syubhatut
thoriq, semisal jima’ dari pernikahan tanpa wali (karena ada ulama yang
memperbolehkannya).
Wali nikah
dari anak yang hasil wathi syubhat tersebut adalah orang yang mewathi itu
sendiri. Dasar Hukum SYARQAWY II/328:
4
بِخِلاَفِ مَا لَو زَنَى مُكْرَهً بِطَائِعَةِ فَإِنَّهُ
لاَيَجْبُ عَلَيْهَا عِدَّةِ وَلاَ يَثْبُتُ بِوَطْئِهِ نَسَبٌ ... وَفَارَقَ
الشُّبْهَةَ بِأَنَّ ثُبُوتَ النَّسَبِ فِيْهِ إنَّمَا جَاءَ مِنْ جِهَّةِ ظَنِّ
الوَاطِئِ
berbeda
dengan seseorang yang berzina karena dipaksa untuk tunduk, sesungguhnya dia
tidak wajib menjalani iddah, dan tidak tetap sebab hubungan badan tersebut….
Berbeda dengan hubungan badan secara syubhat (wathi syubhat), sesungguhnya
nasabnya di tetapkan karena dilihat dari persangkaan orang yang menyetubuhi.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan syubhat seperti
pernikahan semahrom yang sebelumnya tidak diketahui, maka anak
tersebut ada hubungan nasab pada bapaknya, anak tersebut berhak mendapatkan
waritsan dari bapaknya karena di anatara sebab menerima waritsan adalah ada
hubungan nasab, sebagaimana disebutkan :
ولو نكح
إمرأة فبانت محرمة برضاع ببينة أو إقرار فرق بينهما فإن حملت منه كان الولد نسيبا
لاحقا بالواطئ لا يجوز نفيه. بغية المسترشدين ص : ٢٠١ولو مات الزوج
فينبغي أن ترث منه زوجته بالزوجية لا بالأختية لأن الزوجية لا تحجب بخلاف الأختية
فهي أقوى السببين. إعانة الطالبين ٣/٢٨٣و للإرث أركان و شروط و أسباب____وأسبابه ثلاثة وهي نكاح
ولاء و نسب. إعانة الطالبين ٣/٢٢٣
Orang yang berhak menjadi Wali Hakim
Wali Hakim, menjadi hak orang yang berkuasa didaerah calon pengantin putri
baik secara umum seperti imam atau secara khusus (terbatas) seperti qadli dalam
konteks Indonesia, berdasar undang-undang yang berlaku di Indonesia wali hakim
dikuasakan kepada kepala kantor urusan agama di wilayah kecamatan
masing-masing. Dasar Hukum I’anatuth Thalibin III/314 :
)قَولُهُ وَالمُرَادُ) أَيْ بِالسُّلْطَانِ
مَنْ لَهُ وِلاَيَةٌ أَى عَامَةٌ أَوْ خَاصَّةٌ...إِلَى أَنْ قَالَ: وَحَاصِلُ
الدَّفْعِ أَنَّ المُرَادَ بِالسُّلْطَانِ كُلُّ مَنْ لَهُ سُلْطَانَةٌ
وَوِلاَيَةٌ عَلَى المَرْآةِ ) عَامًا كَانَ كَالإِمَامِ أَوْ خَاصًّا
كَالقَاضِى وَالمُتَوَلِى لِعُقُودِ الأَنْكِحَةِ أَوْ هَذَا النِّكَاحِ
بِخُصُوصِهِ.
5
(penjelasan maksudnya) yang dimaksud sulton adalah orang yang memiliki
wilayah baik wilayah secara umum atau khusus…sampai pada pernyataan:
kesimpulannya adalah yang dimaksud dengan sulton adalah setiap orang yang
memiliki kekuasaan dan perwalian atas perempuan baik secara umum seperti Imam
atau spesifik seperti hakim dan orang yang diberi kuasa untuk menjalankan
beberapa akad nikah atau satu pernikahan tertentu.
Penggantian posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan pula dalam
tinjauan fiqh sebagaimana disebutkan dalam kitab Zaitunah al Ilqah halaman 169
:
وَنَصُّوا عَلَى أَنْ يَسْتَنِيْبَ إِذَا
لَهُ * بِهِ أَذِنَ السُّلْطَانُ نَصًّا بِلاَ سَدِّ
وَحَيْثُ جَرَى إِذْنٌ لَهُ فِىتَزَوُّجٍ *
فَزَوَّجَ صَحَّ العَقْدُ مِنْ غَيْرِ مَا صَدِّ
Ulama Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti (posisi)
hakim apabila pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang tidak tertolak.
Apabila izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian
pengganti hakim ini menikahkan, maka sah akad nikahnya tanpa ada halangan. Ibarat
kitab ini, disamping menguatkan pembolehan mengganti posisi wali hakim yang
lowong oleh sebab-sebab tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah wali hakim
yang tidak dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana
dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah selaku
sulthan mengizinkan. PMA no. 30 tahun 2005 bab 3 pasal 3 ayat 2 menyatakan yang
berhak menunjuk penghulu untuk mengganti jabatan Kepala KUA yang berhalangan
untuk menjadi wali hakim adalah Ka Sie Urais. Dengan demikian penunjukan
langsung oleh Kepala KUA selaku wali hakim kepada penghulu untuk mewakili
menjadi wali hakim, menjadi tidak sah, karena fiqh menuntut izin/kewenangan
dalam pemberian hak mewakilkan dari sulton atau dalam bentuk aturan
perundangan.
Kehadiran wali dalam akad nikah sesudah pasrah wali.
Apabila seorang wali nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain,
kemudian ikut hadir dalam majlis akad tersebut, maka akad itu dihukumi sah,
apabila hadirnya si wali tersebut tidak untuk menjadi saksi nikah.
Dasar Hukum Hasyiyah al Bajuri II/102:
6
فَلَو وَكَّلَ الأَبُّ أَوِ الأَخُ
المُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ آخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَيْنِ لَمْ
يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ لِلعَقْدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا.
Seandainya bapak atau saudara sendiri/pribadi mewakilkan dalam akad, dan hadir
beserta yang lain agar keduanya menjadi saksi, maka pernikahan tersebut tidak
sah karena saksi itu menegaskan keberadaan akad, maka wali tidak dapat menjadi
saksi.
Akan tetapi dalam permasalahan ini, ada pendapat yang menyatakan ketidak
bolehan kehadiran wali dalam majlis akad tersebut setelah pasrah, sebagaimana
disebutkan dalam kifayatul ahyar hal 51 :
فلو وكل الولي والزوج او احدهما او حضر الولي
ووكيله و عقد الوكيل لم يصح النكاح لان الوكيل نا ئب الولي ...
Seandainya telah pasrah seorang wali dan (calon) suami atau salah satu
diantaranya, atau hadir wali (tersebut) dan wakilnya dan wakil tersebut
mengakadkan, maka tidak sah nikahnya karena wakil adalah pengganti wali
(tersebut)...
Maka untuk kehatia-hatian, alangkah lebih baiknya seorang wali yang sudah
pasrah untuk meninggalkan majlis akad untuk menghindaripendapat diatas.
Wakalah secara umum bukan termasuk wakalah nikah.
Ada orang menyerahkan anak perempuannya kepada Kyai secara total atau pasrah
bongkoan. Dengan penyerahan ini, tidak cukup bagi Kyai menikahkan anak
perempuan tersebut tanpa ada akad wakalah. Karena penyerahan secara total itu
termasuk akad wakalah yang rusak (tidak sah) sebab perkara yang diwakilkan tidak
diketahui/maklum. Dasar Hukum. Madzahibul Arbaah III/182:
وَأَمَّا المُوَكَّلُ فِيهِ فَإِنَّهُ
يُشْتَرَطُ فِيْهِ أُمُورٌ, أَحَدُهَا أَنْ يَكُونَ مَعْلُومًا وَلَو بِوَجْهِ مَا
إِذَا كَانَ مَجْهُولاً جَهَالَةً تَامَّةً, فَإِنَّ التَوكِيْلَ لاَيَصِحُّ
فَمِثَالُ المَجْهُولِ أَنْ يَقُولَ وَكَّلْتُكَ فِى جَمِيْعِ أُمُورِى أَو فِى
كُلِّ كَثِيْرٍ وَقَلِيْلٍ فَهَذَا التَّوكِيْلُ لاَيَصِحُّ لِمَا فِى الجَهَالَةِ
مِنَ الغُرُورِ المُفْضِى للنَّزْعِ
7
Dan adapun sesuatu yang diwakilkan, sesungguhnya ada beberapa syarat
didalamnya. Salah satunya, keberadaan perkara yang diwakilkan itu sudah
diketahui meski dari salah satu sudut pandang saja. Apabila hal yang diwakilkan
itu tidak diketahui pasti, maka pemasrahan perkara/wakil itu tidak sah. Adapun
contoh yang tidak diketahui itu, seperti seseorang yang berkata:”saya
mewakilkan kepadamu atas segala perkaraku atau disetiap hal yang banyak maupun
kecil” maka proses wakil ini tidak sah karena terdapat kebodohan yang menipu
yang dapat mendatangkan perselisihan.
.
Muhakkam ketika hakim menolak.
Seorang wanita meminta Hakim untuk menikahkannya, karena walinya pergi
dalam jarak dua marhalah (82 km), akan tetapi Hakim tidak mau sehingga akhirnya
ia meminta seorang Kyai untuk menikahkan. Pernikahan yang diijabkan Kyai
tersebut sah apabila dia termasuk orang yang adil. Hal ini menurut pendapat yang
lebih mendekati kebenaran.Dasar Hukum Al Anwar II/54;
لَوْ طَلَبَتْ وَلَمْ يُجِيْبُهَا القَاضِى
فَهَل لَهَا تَحَكُّمُ عَدْلٍ وَيُزَوِّجُهَا حِيْنَئِذٍ مِنْهُ لِلضَّرُورَةِ أَو
يَمْتَنِعُ عَلَيهِ كَالقَاضِى محل نظر وَلَعَلَّ الأَوَّلُ اَقْرَبُ إِنْ لَمْ
يَكُنْ فِى البَلَدِ حَاكِمُ يُرَى ذَلِكَ لِئَلاَّ يُؤَدِّىَ إِلَى فَسَادِهَا
Seandai seorang perempuan meminta, sementara qadli/hakim tidak
meluluskannya, apakah perempuan itu boleh meminta perwalian muhakkam yang adil
untuk menikahkannya dalam keadaan seperti itu karena alasan darurat atau karena
qadli menolaknya. dalam hal ini ada pembahasan. mungkin yang pertama yang lebih
dekat (menikahkan) apabila hakim setempat tidak berkehendak dengan itu, agar
tidak mendatangkan kerusakan bagi wanita itu.
wali jauh vs wali dekat
Bila seorang wali aqrob tidak mau
menikahkan anak wanitanya, wali yang lebih jauh tidak boleh menikahkan anak
wanitanya tersebut tanpa seizin wali terdekat bahkan dia berdosa. Tetapi
apabila penolakannya menimbulkan kefasikan dan kemaksiatannya lebih banyak dari
ketaatannya maka hukumnya boleh. Dasar Hukum I’anatut Tholibin III/316-317:
8
وَكَذَا يُزَوِّجُ السُّلْطَانُ إِذَا عَضَلَ
القَرِيْبُ اَوِ المُعْتِقُ أَو عَصَبَتِهِ إِجْمَاعًا لَكِنْ بَعْدَ ثُبُوتِِ
العَضْلِ عِنْدَهُ بِامْتِنَاعِهِ مِنْهُ أَوْ سُكُوتِهِ بِحَضْرَتِهِ بَعْدَ
أَمْرِهِ بِهِ الخَاطِبُ وَالمَرآةُ حَاضِرَانِ او وَكِيْلُهَا اوَ بَيِّنَةٌ
عِنْدَ تَعَزُّزِهِ اَو تَورِيَهُ نَعَمْ إِنْ فَسَقَ بِعَضْلِهِ لِتَكَرُّرِهِ
مِنْهُ مَعَ عَدَمِ غَلَبَةِ طَاعاَتِهِ عَلَى مَعَاصِيْهِ او قُلْنَا بِمَا
قَالَهُ جَمْعٌ أَنَّهُ كَبِيْرَةٌ زَوَّجَ الأَبْعَدُ وَإِلاَّ فَلاَ لأَنَّ
العَضَلَ صَغِيْرَةٌ وَإفْتَاءُالمُصَنِّفِ بِأَنَّهُ كَبِيْرَةٌ بِإِجْمَاعِ
المُسْلِمِيْنَ مُرَادُهُ عِنْدَ عَدَمِ تِلْكَ الغَايَةِ فِى حُكْمِهَا
لِتَصْرِيْحِهِ هُوَ وَغَيْرُهُ بِأَنَّهُ صَغِيْرَةٌ وَقَولُهُ لِتَكَرُّرِهِ
مِنْهُ قُالَ فِى الروض وَلاَ يَفْسُقُ إِلاَّ إِذَا تَكَرَّرَ ثَلاَثَ مَرَّاتِ
Begitu juga Hakim yang menikahkan, apabila
wali yang dekat, orang yang memerdekakan atau waris ashobah (orang yang berhak
mendapatkan waris ashobah) membangkang/menolak menikahkan (adlol) menurut
pendapat mayoritas ulama, tetapi setelah mendapatkan penetapan (pengadilan
agama) atas adlolnya wali tersebut dengan penolakan, diamnya wali ketika orang
yang melamar, perempuan, wakilnya datang atau ada bukti ketika menolak atau
sindiran.... ya (tetapi) apabila wali yang menolak itu fasiq karena sering
menolak besertaan kuantitas ketaatannya tidak lebih baik dari kemaksiatan yang
dilakukan. atau kita katakan sesuatu yang disampaikan mayoritas ulama, bahwa
sesungguhnya dosa besar apabila wali jauh menikahkan, namun bila tidak ada
masalah kefasikan maka hakim.
Pengantin tidak sederajat.
Pernikahan Pasangan Yang Tidak Sederajat seorang gadis terhormat dan pemuda
rendahan (tidak kufu=sederajat) ingin menjalin hidup bersama, tetapi ayah gadis
itu tidak merestuinya, kemudian mereka melarikan diri sejauh dua marhalah (82
km penghitungan jarak yang lebih berhati-hati adalah dihitung dari batas kota
ke batas kota yang lain). Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat, menurut
pendapat yang kuat dan bisa dijadikan pegangan, kedua orang tersebut tidak bisa
melangsungkan rencana pernikahan tersebut, bahkan hakim tidak sah menikahkannya.
Menurut pendapat muqabil muktamad pendapat yang lemah, mereka bisa
melangsungkan pernikahan tersebut. Dasar Hukum :
-Fathul Muin:
أَمَّا القَاضِى فَلاَ يَصِحُّ لَهُ
تَزْوِيْجُهَا لِغَيْرِ كُفْءٍ وَإِنْ رَضِيَتْ بِهِ عَلَى المُعْتَمَدِ إِنْ كَانَ
لَهَا وَلِيٌّ غَائِبٌ أَوْ مَفْقُودٌ.
9
Adapun qadli (hakim) maka tidak sah baginya
menikahkan (seorang perempuan) dengan orang yang tidak sederajat meski sang
perempuan itu rela. Hal ini menurut pendapat yang bisa digunakan pegangan,
meskipun wali dari seorang perempuan ini ghaib ataupun tidak ada wali sama
sekali.
-Ianah al Thalibin juz 3 halaman 339:
)قَولُهُ عَلَى المُعْتَمَدِ) إِلَى أَنْ قَالَ وَمُقَابِلُ المُعْتَمَدِ
أَنَّهُ يَصِحًُّ كَمَا فَى التُّحْفَةِ وَقَالَ الكَاثِرُونَ أَو الأَكْثَرُونَ
يَصِحُّ وَأَطَالَ جَمْعُ المُتَأَخِرُونَ فِى تَرجِيْحِهِ وَتَزْيِيْنِ الأَوَّلِ
وَلَيْسَ كَمَا قَالُوا. أهـ قُولُهُ وَأَطَالَ جَمْعُ المُتَأَخِرُونَ فِى
تِرجِِيْحِهِ رَأَيْتُ فِى بَعْضِ هَوَامِشِ فَتْحِ الجَواد مَا نَصَّهُ جَمَاعَةٌ
مِنَ الأَصْحَابِ الوَجْهُ القَائِلُ بِالصِّحَّةِ مُطْلَقًا مِنْهُمْ الشَّيْخُ
ابُو مُحَمَّدٍ وَالإِمَامُ وَالفَرَالِى وَالعُبَادِى وَمَالَ إِلَيْهِ
السُّبُكِى وَرَجَّحَهُ البُلْقِنِى وَغَيْرِهِ وَعَلَيْهِ العَمَلُ
(Penjelasan atas pendapat yang muktamad)…sampai pada pernyataan… adapun
pendapat yang lemah menyatakan sesungguhnya pernikahan itu sah sebagaimana
dijelaskan dalam kitab tuhfah, dan banyak ulama atau lebih banyak lagi
menyatakan sah. Ulama periode terakhir (mutaakhir) mengunggulkan pendapat
pertama dan menganggap pendapat yang pertama lebih indah tidak sebagaimana
pendapat kebanyakan ulama. Pengarang kitab ini menjelaskan tentang tarjih
(pengunggulan salaha satu pendapat) oleh ulama mutaakhir, “saya melihat di
sebagian penjelasan kitab fathul jawad (atas) sesuatu yang ditetapkan oleh
sebagian murid Imam Syafii, ada pendapat yang menyatakan sah secara mutlak,
diantara mereka yang menyatakan hal ini adalah; Sheikh Abu Muhammad, al Imam
(haramain), al Farali, al Ubbadi.” Imam al Subuki condong pada pendapat ini, Al
Bulqini dan lainnya (malah) mengunggulkannya. Pendapat ini bisa digunakan.
Menikahi mantan anak tiri dan mertua.
Seseorang diharamkan mengawini anak dari
isteri yang telah ditalak (bekas anak tirinya) yang tidak dipelihara, apabila
sudah pernah bersetubuh dengan ibunya anak, karena anak tersebut termasuk
mahram, maka haram dinikahi.
Dasar Hukum I’anatut Thalibin III/291:;
(وَكَذَا فَصْلِهَا) اي
وَكَمَا يَحْرُمُ اَصْلُ الزَّوجَةِ يَحْرُمُ أَيْضًا فَصْلُ الزَّوجَةِ (إِنْ
دَخَلَ لَهَا)
10
Begitu juga anak isterinya, Sebagaimana haram menikahi orang tua dari isteri,
diharamkan juga menikahi anaknya apabila sudah pernah bersetubuh dengan
isterinya.
Mewakilkan qabul nikah melalui tulisan,
Email, Telpon.
Mewakilkan Qabul lewat e-mail, telepon, telegram, atau surat mandat hukumnya
sah-sah saja apabila pada waktu melakukan (menulis) disertai dengan niat. Sebab
mewakilkan (akad wakalah) melalui media tersebut termasuk kinayah, dan sudah
maklum bahwa setiap akad kinayah bisa ada legalitas dari syara’ apabila disertai
dengan niat. Dasar hukum Hasyiyah al-Syarwani bab Wakalah Juz 5 hal
374:
والكتابة لا على مائع او هواء كناية فينعقد
بها مع النية (قوله والكتابة) ومنها خبر السلك المحدث في هذه الأزمنة فالعقد به
كناية فيما يظهر
Tulisan bukan pada sesuatu yang cair atau diudara adalah termasuk kinayah
(sindiran) maka sah akad wakil dengan tulisan itu apabila besertaan niat
(pendapatnya dan tulisan) dan diantaranya adalah kabar berjalan yang terbaru
(seperti email) pada masa kini, maka hukum akadnya seperti kinayah dalam hal-hal
yang sudah jelas.
Menikah dengan wanita ahli kitab.
Bagi pengikut madzhab Al Imam al Syafii, menikahi perempuan dari ahli kitab
zaman sekarang tidak diperbolehkan, karena menurut Imam al Syafii pengertian
ahli kitab adalah pengikut ajaran taurat dan injil sebelum turunnya al Qur’an.
Dasar Hukum Tafsir al Munir Juz I halaman 192:
قَالَ الكَثِيْرُ مِنَ الفُقَهَاءِ: إِنَّمَا
يَحِلُّ نِكَاحُ الكِتَابِيَةِ التِي دَانَتْ بالتَّورَةِ وَالإِنْجِيْلِ قَبْلَ
نُزُولِ القُرْآنِ فَمَنْ دَانَ بِذَلِكَ الكِتَابِ بَعْدَ نُزُولِ القُرْآنِ
خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الكِتَابِ وَهَذَا مَذْهَبُ الإِمَامِ الشَّافِعِى رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ وَأَمَّا أَهْلُ المَذَاهِبِ الثَّلاَثَةِ فَلَمْ يَقُولُوا بِهَذَا
التَفْصِيْلِ بَلْ أَطْلَقُوا القَولَ بِجِلِّ ذَبَائِحِ اهْلِ الكِتَابِ وَحِلِّ
التَّزَوُّجِ مِنْ نِسَائِهِمْ وَلَو دَخَلُوا فِى دِيْنِ اهْلِ الكِتَابِ بَعْدَ
نَسْخِهِ
11
Mayoritas fuqoha’ berkata: hanya diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab
yang memeluk ajaran taurat dan injil, sebelum turunnya al Quran. Barangsiapa
berpegang pada kitab tersebut setelah turunnya al Quran, maka dia tidak
tergolong Ahli Kitab. Pendapat ini adalah madzhab Imam al Syafii. Adapun para
pemilik madzhab tiga tidak sependapat dengan pendapat ini. Mereka justru
memutlakkan pendapat yang menghalalkan sembelihan Ahli Kitab dan juga menikahi
perempuan-perempuan Ahli Kitab, meskipun mereka itu memeluk agama Ahli Kitab
setelah kitabnya di nasakh (dihapus).
Menikahi perempuan pezina.
Menikahi perempuan pezina disikapi para
ulama dengan dua pendapat yang berbeda:
1. Haram.
2. Diperbolehkan.
Dasar Hukum Rowa’i al Bayan Juz II halaman 49:
الحُكْمُ الثَّالِثَ عَشَرَ: هَلْ يَصِحُّ
الزَّوَاجُ بِالزَّانِيَةِ؟ إِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ فِى هَذِهِ
المَسْأَلَةِ عَلَى قَولَيْن : الأَوَّلُ: حُرْمَةٌ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ, وَهُوَ
مَنْقُولٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالبَرَّاءِ وَعَائِشَةَ وَابْنُ مَسْعُودٍ الثَّانِي:
جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الجُمْهُورِ وَبِهِ قَال الفُقَهَاءُ
الأَرْبَعَةُ مِنَ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ
Hukum ketigabelas mengenai apakah sah menikahi perempuan pezina? Ulama
salaf dalam menyikapi masalah ini,
terpecah menjadi dua pendapat: Pertama, Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini
dikutip dari Sayidina Ali, Al Barra’, Aisyah dan Ibn Mas’ud. Kedua, Diperbolehkan
menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu Bakar, Umar dan Ibn
Abbas. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan didukung Madzhab Empat yaitu
para imam mujtahid kenamaan.
Kawin lari.
Ada dua sejoli (Arif dan Desy) sepakat untuk menikah dan keluarga
masing-masing merestuinya, kemudian Arif mengedarkan undangan yang hari dan
tanggalnya telah disepakati oleh keluarga Desy. Namun karena satu dan lain hal
keluarga Desi minta agar acara tersebut diundur. Karena undangan terlanjur
beredar akhirnya pada saat pelaksanaan acara tersebut Arif menculik Desy untuk
diakadkan dengan menggunakan wali seorang Kyai.
12
Mengenai kasus ini ulama berbeda pendapat tentang keabsahan pernikahan
tersebut. Ada yang mengatakan sah dengan catatan tidak ada hakim atau ada
tetapi memungut bayaran. Ada yang mengatakan sah secara mutlak baik ada hakim
atau tidak dengan syarat Kyainya harus adil. Dasar Hukum Bughyatul Mustarsyidin
halaman 207:
(مَسْئَلَةُ ب ش) الحَاصِلُ فِى مَسْئَلَةِ التَّحْكِيمِ أَنَّ التَحْكِيمَ
المُجْتَهِدِ فِى غَيْرِ نَحْوِ عُقُوبَةِ اللهِ تَعَالَى جَائِزٌ مُطْلَقًا اى
وَلَو مَعَ وُجُود القَاضِى المُجْتَهِدِ كَتَحْكِيْمِ الفَقِيْهِ غَيْرِ
المُجْتَهِدِ مَعَ فَقْدِ القَاضِى المُجْتَهِدِ وَتَحْكِيْمِ العَدْلِ مَعَ
فَقْدِ القَاضِى أَصْلاً أُو طَلَبَهُ مَالاً وَإِنْ قَلَ لاَمَعَ وُجُودِهِ
kesimpulan dalam masalah tahkim-permohonan wali muhakkam- bahwa penetapan
hukum seorang mujtahid pada selain masalah uqubatillah diperbolehkan secara
mutlak meskipun ada hakim yang mujtahid disana, seperti penetapan hukum seorang
ahli fiqh yang bukan mujtahid besertaan ketiadaan qadli/hakim yang mujtahid,
dan penetapan hukum orang yang adil besertaan ketiadaan hakim sama sekali atau
hakim yang ada meminta uang meski hanya sedikit, tetapi tidak sah bila
penetapan hukum itu besertaan adanya hakim yang mujtahid dan tidak memungut
uang.
Masalah orang yang ditunjuk jadi saksi.
Saksi dalam Pernikahan tidak harus orang-orang yang telah ditunjuk sebelum
akad, bahkan boleh secara umum (tidak ditentukan) yaitu orang-orang yang hadir
dalam majlis akad, yang mendengar ijab dan qabul.
Dasar Hukum:
وَلا يَصِحُّ) النِّكَاحُ (إلا بِحَضْرَةِ
شَاهِدَيْنِ) قَصْدًا أَوْ اتِّفَاقًا بِأَنْ يَسْمَعَا الإِيجَابَ وَالْقَبُولَ
أَيْ الْوَاجِبَ مِنْهُمَا الْمُتَوَقِّفَ عَلَيْهِ صِحَّةُ الْعَقْدِ لا نَحْوَ
ذِكْرِ) الْمَهْرِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ [لا نِكَاحَ إلا
بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ
فَهُوَ بَاطِلٌ] الْحَدِيثَ
(tidak sah) pernikahan (kecuali dihadapan
dua orang saksi) secara sengaja atau mufakat dengan gambaran kedua saksi itu
mendengar ijab kabul yaitu sesuatu yang wajib dari keduanya yang terkait dengan
keabsahan akad nikah tidak termasuk mengucapkan mahar sebagaimana hal itu telah
jelas.
13
Memperbaharui Akad untuk legalitas.
Praktek
memperbaharui akad nikah dalam pandangan fiqih disebut tajdid nikah atau
pembaruan nikah. Hukum memperbarui akad nikah
ini terdapat Khilaf (perbedaan pendapat Ulama') diantaranya :
1. Boleh/Jawaz Menurut Qaul
shahih (pendapat yang benar) , tidak merusak pada 'Akad nikah yang telah
terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya sekedar keindahan (al-Tajammul)
atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Dasar :
-Kitab
Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal 245:
لأن الثاني
لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على
مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من
هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن
زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
-Fathul Baari XIII/159:
)بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا
أَبُو عَاصِمْ عَنْ يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ :
بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى
الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر
يُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ
لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ
الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا
قَالَ الجمْهُور أهـ
(bab tentang orang yang melakukan transaksi
jual beli dua kali) bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn
Abi Ubaidah dari Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual
beli dengan Nabi Muhammad SAW di bawah
pohon, kemudian Rasul berkata padaku, apakah kamu tidak melakukan akad
transaksi? Saya telah melakukan akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi
berkata; dan pada waktu yang kedua.” Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier
berpendapat : Dari hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa
mengulangi akad nikah atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama
berbeda dengan orang yang menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii.
Penyusun kitab Fathul Bari berkata : “ pendapat yang benar menurut ulama
syafii, pernikahan itu sah tidak merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas
ulama.”
14
Karena
pendapat pertama memperbolehkan Tajdidun nikah, maka akad nikah kedua tersebut
tidak merusak akad pertama, sebab akad yang kedua hanyalah akad nikah yang
dalam bentuknya saja, dan hal tersebut bukan berarti merusak akad yang pertama.
Pendapat ini merupakan pendapat yang Shohih dalam madzhab Syafi'i, sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Juz : 13, Hal : 199:
حدثنا
أبو عاصم، عن يزيد بن أبي عبيد، عن سلمة، قال: بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم
تحت الشجرة، فقال لي: يا سلمة ألا تبايع؟، قلت: يا رسول الله، قد بايعت في الأول،
قال: وفي الثاني...
وقال ابن المنير : يستفاد من هذا الحديث أن
إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من
الشافعية قلت الصحيح عندهم أنه لا يكون فسخا كما قال الجمهور
Kami
melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW
menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku
menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama
(sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.”
Syarah Minhaj Li Shihab Ibn Hajar Juz 4 halaman 391:
إِنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةُ الزَّوجِ عَلَى
صُورَةِ عَقْدِ ثَانٍ مَثَلاً لاَيَكُونُ إِعْتِرَافًا بِإِنْقِضَاءِ العِصْمَةِ
الأولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيْهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لآنَّهُ مُجَرَّدُ تَجْدِيْدٍ
طُلِبَ مِنَ الزَّوجِ لِتَجَمُّلٍ أَو إحْتِيَاطٍ فَتَأَمَّل.
Sesungguhnya murninya kecocokan suami pada kasus akad
yang kedua misalnya, bukanlah pengakuan atas rusaknya penjagaan atas akad yang
pertama, bahkan hal itu bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas. Karena akad
kedua itu hanyalah untuk memperbarui sebagai tuntutan pada suami untuk
memperindah (hubungan) dan berhati-hati.
15
Karena
akad yang kedua tidak merusak akad nikah yang pertama, maka akad yang kedua
juga tidak mengurangi jatah talak suami, jika sebelumnya belum menjatuhkan
talak, maka jatah talaknya masih 3, dan bila sudah menjatuhkan talak satu, maka
jatah talaknya tinggal 2 dan seterusnya. Begitu juga pihak laki-laki tidak
perlu memberikan mahar lagi.
2.
Tidak Boleh, menurut
Syekh Ardabili, dengan melakukan tajdid nikah, maka akad nikah yang pertama menjadi rusak, dan
tajdid nikah itu dianggap sebagai pengakuan (iqror) perpisahan, dan tajdid nikah
tersebut mengurangi jatah talak suami, dan diharuskan memberikan mahar lagi.
-Al anwar li a’malil abrar Juz 7 hal 88 :
لو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر أخر لأنه إقرار في الفرقة وينتقص به
الطلاق ويحتاج إلي التحليل في المرة الثالثة
.
Seandainya seseorang memperbaharui nikah dengan istrinya maka wajib baginya
membayar mahar lagi karena hal tersebut merupakan penetapan didalam perceraian
(al-Firqati).
-Tuhfatul
Muhtaj, Juz : 7 Hal : 391:
ولو توافقوا) أي الزوج والولي والزوجة الرشيدة فالجمع باعتبارها أو باعتبار
من ينضم للفريقين غالبا (على مهر سرا وأعلنوا بزيادة فالمذهب وجوب ما عقد به) أولا
إن تكرر عقد قل أو كثر اتحدت شهود السر والعلن أم لا لأن المهر إنما يجب بالعقد
فلم ينظر لغيره ويؤخذ من أن العقود إذا تكررت اعتبر الأول مع ما يأتي أوائل الطلاق
أن قول الزوج لولي زوجته زوجني كناية بخلاف زوجها فإنه صريح أن مجرد موافقة الزوج
على صورة عقد ثان مثلا لا يكون اعترافا بانقضاء العصمة الأولى بل ولا كناية فيه
وهو ظاهر ولا ينافيه ما يأتي قبيل الوليمة أنه لو قال كان الثاني تجديد لفظ لا
عقدا لم يقبل لأن ذاك في عقدين ليس في ثانيهما طلب تجديد وافق عليه الزوج فكان
الأصل اقتضاء كل المهر وحكمنا بوقوع طلقة لاستلزام الثاني لها ظاهرا وما هنا في
مجرد طلب من الزوج لتحمل أو احتياط فتأمله
16
Sering orang melakukan nikah sirri, tidak melalui KUA.
Dikemudian hari, dia meresmikan pernikahannya melalui KUA dan dalam peresmian
tersebut dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah yang kedua ini mengambil
pendapat pertama adalah MUBAH dan dalam akad nikah kedua ini pengantin pria
tidak wajib membayar mahar lagi. Nikah kedua ini juga tidak mempengaruhi
terhadap haqqut thalaq menurut pendapat yang shahih.
Akan tetapi perlu diketahui, untuk penetapan legalitas
nikah lebih baik menggunakan Itsbat di PA sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam. Pembaharuan Nikah yang dilakukan di KUA, apabila sudah mempunyai anak
akan bermasalah dikemudian hari terhadap status anak, karena tanggal kelahiran
anak dengan surat nikah tidak akan sesuai, ini akan menjadi masalah dikemudian
hari.
Kekeliruan menyebut nama dalam akad .
Dalam sebuah pernikahan, tidak jarang kita
menemui seorang wali, wakil wali atau pengantin pria keliru dalam mengucapkan
sighat ijab kabul, sehingga seringkali “dipaksa” hadirin untuk diulang ijab
kabulnya. Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak mempengaruhi
keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan penghulu atau
orang yang mendapat wakalah menikahkan, menyebutkan nama wali, seperti Fatimah
binti Utsman diucapkan Fatimah binti Umar, maka pernikahan itu hukumnya tetap
sah apabila pada waktu akad tadi wali atau penghulu memberi isyarat kepada
calon isteri atau wali atau penghulu menyengaja terhadap calon isteri yang
dimaksud seperti kata ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada
dihadapanku) meski ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah
karena ada penyebutan hadza/orang ini atau diniatkan orang yang ada
dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan paparan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin
halaman 200:
مَسْئَلَة ش) غَيَّرْتَ إِسْمَهَا
وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا القَاضِى
بِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا
ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ)
هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ
عَمْدًا اوسَهْوًا مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو
قَاضِيًا وَالزَّوجُ كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً
بِنِيَّتِهَا
17
(masalah sy) engkau mengganti nama pengantin putri atau nasabnya ketika
meminta izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan nama itu ternyata
nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang engkau sebutkan. Bila akad itu
diisyaratkan kepadanya dengan gambaran hakim berkata saya nikahkan engkau
dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang pengantin putri ketika menyatakan
nama yang keliru itu, maka pernikahannya tetap sah, baik perubahan nama itu
disengaja atau karena lupa nasab dan namanya, karena acuan hukum yang digunakan
adalah penyengajaan wali, meski wali hakim dan penyengajaan suami, sebagaimana
perkataan wali saya nikahkan kamu dengan hindun dan meniatkan dakdan, hal ini
juga berdasar niat pengantin perempuan.
Akad melalui telepon/teleconference.
Sesungguhnya dalam tinjauan fiqh syafi Ijab qabul dalam akad nikah melalui
telepon atau teleconfrence hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan
langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah. Keharusan para pihak, calon
pengantin harus dalam satu majelis ini untuk meminimalisir penipuan atau untuk
meyakinkan terjadinya pernikahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51 dijelaskan
:
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ
النِّكَاحِ خُضُورُ أَرْبَعَةٍ. وَلِيٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(cabang) disyaratkan dalam keabsahan nikah,
hadirnya 4 orang: wali, calon suami dan dua orang saksi yang adil.
Begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala
Syarhil Khatib III.335 disampaikan
وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ
الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَّبْطُ (قُولُهُ وَالضَبْطُ) اى لأَلْفَاظِ وَلِى
الزَّوجَةِ وَالزَّوجُ فَلاَ يَكْفِى سِمَاعُ الفَاظِهِمَا فِى ظُلْمَةٍ لأَنَّ
الأَصْوَاتَ تَشْبِيْهٌ.
Dan sebagian dari hal-hal yang diabaikan
dari syarat saksi dalah mendengar, melihat dan cermat (pernyataan penyusun :
dan cermat) maksudnya cermat atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin
putra. Tidak cukup mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung
keserupaan.
18
Ketidak absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan teknologi,
namun dibalik kecanggihan teknologi juga ada kemudahan dalam memanipulasi. bisa
saja suaranya dirubah, didubling oleh suara orang lain, pastinya kita sudah
mengetahui banyak tentang hal ini.
Sebuah pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan kemaksiatan, setiap
kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan diantara dua orang.
karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak sembrono.
Bagaimana bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula, bahwa
ketidak mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan baik melalui surat,
utusan orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan Agama biasanya juga disediakan
blangko tauliyah bil kitabah.
Pernikahan sesama murtad.
Pernikahan orang yang murtad tidak sah. Orang yang murtad tidak dapat menikah
dengan orang muslim, kafir atau bahkan dengan sesama murtad. Dasar Hukum. Bughyatul
Mustarsyidin 205:
...مُرْتَدَة لاَيَجُوزُ
ِلأَحَدٍ وَلَو كَافِرًا أَو مُرتَدًا نِكَاحَهَا
…wanita yang murtad, tidak diperkenankan kepada siapapun menikah dengannya
baik orang kafir atau sesama murtad.
Qulyubi wa ‘Amirah juz 3 halaman 253:
وَلاَ تَحِلُّ مُرْتَدَةٌ لاَحَدٍ لاَمِنَ
المُسْلِمِيْنَ لأَنَّهَا كَافِرَةٌ لاَتُقِرُّ وَلاَ مِنَ الكُفَّارِ (هُوَ
شَامِلٌ لِلْمُرْتَدٍ وَهُوَ كَذَلِكَ) لِبَقَاءِ عَلَقَةِ الإِسْلاَمِ فِيْهَا
Dan seorang wanita murtad tidak halal bagi
siapapun juga, tidak dengan orang muslim karena wanita itu orang kafir dan
tidak diakui, juga tidak dengan orang kafir, (termasuk juga orang murtad)
karena tetapnya hubungan keislaman didalam wanita itu.
19
Pernikahan muslim dan kafir.
Seorang muslim tidak sah menikah dengan orang kafir. Dasar Hukum
Kitab Syarqawi II/237:
(وَنِكَاحُ
المُسْلِمِ كَافِرَةً غَيْرَ كِتَابِيَةً خَالِصَةً)
Artinya : (dan tidak sah) pernikahan orang muslim dengan orang kafir yang
bukan kitabiyah murni.
Nikah Paksa Oleh Polisi .
Pernikahan yang dilakukan karena dipaksa (seperti karena berbuat zina) oleh
polisi atau hakim, maka pernikahan itu tidak sah! Karena syarat sahnya nikah,
harus dengan kemauan si calon suami. Dasar Hukum Kitab Tanwirul Qulub:
Artinya: … dan (orang yang hendak menikah itu) haruslah dengan kemauan sendiri,
maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa.
Mendahulukan pihak lelaki dalam akad nikah.
Dalam akad nikah tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi
mendahulukan pihak lelaki atau pihak perempuan itu sama saja (sah). Contoh:
“Aku mengawinkan kamu dengan anak perempuanku” atau “aku mengawinkan anak
perempuanku kepadamu”. Keabsahan mendahulukan salah satu pihak ini juga berlaku
dalam wakalah (mewakilkan wali). Dasar Hukum
Kitab Sarh Raudloh:
لاَنَّ الخَطَءَ فِى الصِّيْغَةِ إِذَا لَمْ
يُخِلَّ بِالمَعْنَى يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ كَالخَطَاءِ فِى الإِعْرَابِ أَيْ
فَلاَ يَضُرُّ
Artinya:Karena sesungguhnya kekeliruan dalam pengucapan (ijab qabul) ketika
tidak merusak makna, sebaiknya pengertian itu disamakan dengan kesalahan dalam
I’rab (bacaan huruf terakhir), maksudnya (hal itu tidak menjadi masalah).
20
Walimah rasulululullah.
Mengadakan walimatul ursy bagi pengantin memang disunnahkan sebagaimana dianjurkan
oleh Rasulullah SAW. Namun demikian Rasulullah sama sekali tidak pernah
menganjurkan untuk berlebihan atau harus berhutang kepada orang lain
sebagaimana sampaikan Rasulullah dalam haditsnya. Tafsir al Tsa'labi:
عن أنس: أن رسول الله صلى الله عليه وسلّم
رأى على عبد الرحمن أثر صفرة وقال: «ما هذا؟» فقال: يا رسول الله تزوجت امرأة على وزن نواة
من ذهب. فقال النبي صلى الله عليه وسلّم «بارك الله لك أولم ولو بشاة
Sunan al Kubra lil Baihaqie juz 11 halaman 57:
أنسَ بنَ مَالِكٍ رضي الله عنه يقولُ:
أَقَامَ رسولُ الله بينَ خَيْبَرَ والمدينةِ ثلاثَ ليالٍ يُبْنَى عليهِ
بِصَفِيَّةَ، فدعوتُ المسلمينَ إلى وليمةِ رسولِ الله ما كانَ فِيْهَا خبزٌ ولا
لحمٌ، وما كانَ إلاَّ أَنْ أَمَرَ بالأَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ وأَلْقَى عَلَيْهَا
التَّمْرَ والأَقِطَ والسَّمْنَ
Mewakilkan orang menghadiri walimah.
Mendatangi undangan walimah yang wajib dihadiri hukumnya Fardlu Ain, dan ada
yang mengatakan Fardlu Kifayah. Apabila seseorang berhalangan dan mewakilkan
kepada orang lain, secara hukum Islam itu tidak termasuk udzur yang bisa
menggugurkan kewajiban. Lebih jelasnya; mendatangi undangan walimah yang sudah
memenuhi persyaratan, hukumnya fardlu ain. Dengan demikian, kewajiban tersebut
tidak bisa gugur dengan datangnya wakil, kecuali udzur atau mengutarakan alasan
yang kemudian diridloi oleh orang yang mengundang. Namun sebagian ulama ada
yang mengatakan hukumnya fardlu kifayah, konsekwensinya kewajiban mendatangi
undangan tersebut gugur dengan datangnya sebagian undangan. Dasar Hukum
Kifayatul Akhyar II/71:
لَوِاعْتَذَرَ
المَدْعُو إِلَى صَاحِبِ الدَّعْوَةِ فَرَضِيَ بِتَخَلُّفِهِ زَالَ الوُجُوبُ
21
Kalau orang yang diundang meminta izin ke pengundang dan dia rela
diwakilkan kepada orang lain, maka kewajiban hadirnya gugur.
Masalah batasan nusuz.
Batasan Nusyuz Isteri Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa yang memasak
mencuci dan menyapu adalah isteri. Sebenarnya rutinitas tersebut adalah
kewajiban suami. Andai rutinitas ini diperintahkan suami kepada isteri, maka
isteri tidak wajib memenuhinya. Pengingkaran atas perintah ini tidak termasuk
nusyuz/melawan. Adapun batasan ketaatan yang harus dijalani seorang isteri
terhadap suami adalah sepanjang kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami
selama tidak berupa maksiat dan diluar kemampuan. Dasar Hukum Hasyiyah al
Bajuri Juz 129:
وَالثَّانِى مِنْ جِهَّةِ الزَّوْجَةِ
وَمَعْنَى نُشُوزِهِاَ إِرْتِفَاعُهَا عَنْ أَدَاءِ الحَقِّ الوَاجِبِ عَلَيهَا
(قَولُهُ إِرْتِفَاعُهَا عَنْ أَدَاء الحَقِّ الوَاجِبِ عَلَيهَا) أَى هُوَ
طَاعَتُهُ وَمُعَاشَرَتُهُ بِالمَعْرُوفِ وَتَسْلِيْمُ نَفْسِهَا لَهُ
وَمُلاَزَمَةٌ المَسْكَنِ.
Dan yang kedua dari sisi isteri dan arti dari perlawanan isteri adalah
pengingkaran dari menjalankan kewajibannya. (pernyataan penyusun; pengingkaran
dari menjalankan kewajibannya) maksudnya, ketaatan, interaksi yang baik,
penyerahan diri isteri dan menetap dirumah).
Seorang isteri dapat bekerja dan memberi nafkah suaminya dengan izin sang
suami, suami juga dapat bekerja kepada isterinya. Nafkah yang diberikan isteri
ini halal di makan suami dengan catatan suami berkeyakinan atau ada tanda-tanda
bahwa isteri senang hati untuk memberi nafkah, dan bekerja. Hal ini disamakan
dengan mahar yang disebut dalam firman Allah yang artinya: “Jikalau mereka para
isteri senang hati untukmu, maka makanlah Mahar itu dengan baik dan tulus.
Demikian pula, halal bagi isteri bekerja dengan seizin suami. Dasar Hukum Keputusan
muktamar NU Ke 14, (1 Juli 1939)
Al Quran, an Nisa ayat 4:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
22
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Menggantungkan
nikah pada kesejahteraan.
Menggantungkan Pernikahan Pada Kesejahteraan ada seseorang mengatakan;
“jika perkawinan saya ini sejahtera maka akan saya teruskan tetapi jika tidak
maka tidak saya teruskan. Perkataan yang seperti ini tidak termasuk ta’liquth
thalaq (menggantungkan perceraian) atau unsur-unsur talak. Hanya saja meski
tidak ada masalah, seorang suami tetap harus berhati-hati mengucapkan hal yang
terkait dengan pernyataan talak. Dasar Hukum As Syarqawi II/253,259:
وَأَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ مُطَلِّقٌ
وَصِيْغَةٌ وَ قَصْدٌ وَ زَوْجَةٌ. أهـ
Rukunnya talak ada 4 ; orang yag mentalak, sighat/ucapan, niatan mentalak, dan
isteri
Pesangon untuk yang diceraikan .
Memberikan Uang Pesangon Untuk Isteri Yang Diceraikan
Memberikan mut’ah (uang pesangon) kepada isteri yang dicerai hukumnya wajib
dengan ketentuan sebagai berikut :
-
Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah
satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
-
Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
-
Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang
mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan
mahar.
Dasar Hukum I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356:
23
تَتِمَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ
مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً مُتْعَةٌ بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ سَبَبِهَا وَبِغَيْرِ مَوتِ
أَحَدِهِمَا (قَولُهُ لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى
لَمْ يَجِبْ لَهَا شَيْءٌ أَصْلاً وَهِيَ المُفَوِّضَةُ الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ
الفَرْضِ وَالوَطْءِ فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ لِقُولِهِ تَعَالَى: لاَجُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى وَجَبَ لَهَا نِصْفُ المَهْرِ
فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا
بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا وَلَو قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ
يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ بِأَنْ لَمْ يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او
وَجَبَ لَهَا المَهْرُ كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ لِمَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ
الإِيْهَامِ الذِى لاَيَخْفَى
Penyempurna: Seorang suami wajib memberikan mut'ah (pesangon) kepada isteri
yang sudah pernah dikumpuli meskipun seorang budak. sebab menceraikannya yang
sebab perceraian itu bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah
satu dari suami isteri (Pernyataan: kepada Isteri yang pernah dikumpuli) begitu
juga wajib diberi mut'ah isteri tercerai yang belum pernah dikumpuli yang suami
tidak memiliki kewajiban apapun, perempuan itu menyerahkan (nilai mahar yang
diberikan) dan diceraikan sebelum nilai maharnya ditentukan dan belum
dikumpuli. maka wajib memberikan pesangon karena Firman Allah : Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka). Adapun bagi
isteri yang wajib bagi suaminya yang mentalak memberikan separuh mahar maka
isteri yang tertalak tersebut tidak berhak mendapat mut'ah, karena separuh
mahar itu menutupi rasa duka yang dihasilkan tersebab talak besertaan
selamatnya keperawanannya. 'adapun bila suami menyatakan sesuatu yang juga
disampaikan kepada orang lain kepada isterinya maka suami tidak wajib
memberikan separo mahar saja karena tidak wajib memberikan mahar sama sekali
atau suami wajib memberikan mahar penuh maka hal ini lebih utama karena
penjelasannya menghilangkan kesamaran.
Iddah yang haid berhenti.
Seorang perempuan dalam masa iddah tiga sucian menjalani operasi yang
menyebabkan berhentinya haid selama dua tahun, padahal dia belum mencapai umur
ya’si /menopause. Bila dia hendak menikah, dia harus menunggu haid lagi sebagai
kelanjutan iddah yang telah dijalani. Apabila sudah tidak haid lagi, maka harus
menungggu sampai batas umur ya’si dan beriddah tiga bulan, dengan cara
meneruskan iddah yang lampau, upama yang dijalani sudah satu sucian, maka
tinggal meneruskan dua bulan hilali. Dasar Hukum Al Mahalli IV/42:
24
(وَمَنْ إِنْقَطَعَ دَمُهَا لِعِلَّةٍ)
تُعْرَفُ كَرَضَاعٍ وَمَرَضٍ تَصْبِرُ حَتَّى تَحِيْضَ فَتَعْتَدُّ بِإِقْرَاءٍ
أَوْ تَيْئَاسُ فَبِالأَشْهُرِ إهـ
(dan wanita-wanita yang terputus haidnya
karena suatu sebab) sebab itu dapat diketahui seperti karena menyusui dan
sakit, maka wanita itu harus bersabar( menunggu) hingga haid(nya keluar)
kemudian wanita itu ber iddah dengan menghitung sucinya atau menopause maka
beriddah dengan hitungan bulan.
Dikawin
tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Dasar Hukum.
I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356:
تَتِمَّةٌ
تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً مُتْعَةٌ بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ
سَبَبِهَا وَبِغَيْرِ مَوتِ أَحَدِهِمَا (قَولُهُ لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا
غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى لَمْ يَجِبْ لَهَا شَيْءٌ أَصْلاً وَهِيَ المُفَوِّضَةُ
الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ الفَرْضِ وَالوَطْءِ فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ
لِقُولِهِ تَعَالَى: لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ
تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى
وَجَبَ لَهَا نِصْفُ المَهْرِ فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ
لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا وَلَو
قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ بِأَنْ لَمْ
يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او وَجَبَ لَهَا المَهْرُ كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ
لِمَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ الإِيْهَامِ الذِى لاَيَخْفَى
Penyempurna:
Seorang suami wajib memberikan mut'ah (pesangon) kepada isteri yang sudah
pernah dikumpuli meskipun seorang budak. sebab menceraikannya yang sebab
perceraian itu bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu
dari suami isteri (Pernyataan: kepada Isteri yang pernah dikumpuli) begitu juga
wajib diberi mut'ah isteri tercerai yang belum pernah dikumpuli yang suami
tidak memiliki kewajiban apapun, perempuan itu menyerahkan (nilai mahar yang
diberikan) dan diceraikan sebelum nilai maharnya ditentukan dan belum
dikumpuli. maka wajib memberikan pesangon karena Firman Allah : Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka). Adapun bagi
isteri yang wajib bagi suaminya yang mentalak memberikan separuh mahar maka
isteri yang tertalak tersebut tidak berhak mendapat mut'ah, karena separuh
mahar itu menutupi rasa duka yang dihasilkan tersebab talak besertaan
selamatnya keperawanannya.
26
adapun bila
suami menyatakan sesuatu yang juga disampaikan kepada orang lain kepada
isterinya maka suami tidak wajib memberikan separo mahar saja karena tidak
wajib memberikan mahar sama sekali atau suami wajib memberikan mahar penuh maka
hal ini lebih utama karena penjelasannya menghilangkan kesamaran.
Syarat Shighat Ijab Qobul.
Syarat
Shighat/lafal Ijab Qobul adalah :
1 1.Ijab
hendaknya menggunakan lafal “Ankahtuka/zawajtuka” (aku nikahkan/aku kawinkan
engkau), maka tidak sah jika menggunakan kata lain seperti lafal “akhlaltuka
Ibnaty” (aku halalkan kepadamu anak perempuanku) atau “aku ikat engkau” atau
“Aku jodohkan engkau” dll, sebagaimana keterangan dalam Fatkhul Muin hal 99 :
....(ا
يجاب) من الولي وهو (كزوجتك وا نكحتك) موليتي فلانة فلا يصيح الايجاب الا باحد
هدين اللفظين.....
“...Ijab dari wali, yaitu seperti lafal “zawajtuka wa ankahtuka
mauliyata fulanah..” maka tidak sah ijab kecuali dengan kedua lafal ini....”
L2. lafal
Ijab Qobul boleh menggunakan bahasa arab atau bahasa lain yang makna dan
artinya merupakan terjemah dari lafal “Nikah/Tazwij” sebagaimana dalam fatkhul
muin hal 99:
(وصح) النكاح (بترجمة) اي ترجمة احد الفظين باي
لغة ولو ممن يحسن العربية لكن يشترط هن ياتي بما يعده اهل تلك اللغة صريحا فى لغتهم......
“Dan sah nikah dengan menggunakan terjemah, artinya terjemah dari
kedua lafal (Ankahtuka/zawajtuka) dengan bahasa manapun, walaupun orang (yang
akan melakukan ijab qobul) tersebut bagus bahasa arabnya, akan tetapi dalam hal
ini disyaratkan supaya menggunakan bahasa yang
yang sudah diakui oleh ahli bahasa sebagai bahasa yang benar (untuk
menikah)....”
27
33.
Ijab
Mesti Ta’yin (jelas) yaitu harus disebutkan nama anak perempuan yang
dinikahkan, tidak boleh menyebut anak perempuan tanpa kepastian dan kejelasan,
seperti menggunakan kata-kata “ Aku nikahkan engkau dengan salah seorang anak
perempuanku” ijab seperti ini batal.sebagaiamana dalam Fatkhul muin hal 100 :
...(و تعيين) لها فزوجتك احدى بناتى با طل ولو
مع الاشارة ......
“....Dan Ta’yin (jelas/nyata) untuk wanita (yang akan dinikahi),
maka (jika dikatakan ) “saya nikahkan engkau dengan salah
seorang anak perempuanku” maka batal, walaupun diringi dengan isyarat....”
44. Ijab hendaknya diikuti dengan Qabul dari pengantin laki-laki dengan segera
(Muttashil) dan dalam satu majlis/tempat, sehingga tidak diperbolehkan ijab
diikuti dengan qobul oleh pengantin laki-laki setelah berpindah majlis.
55. Ijab
dan qobul hendaklah didengar dan dipahami dengan jelas oleh Wali, Calon
Pengantin dan dua orang saksi.
66. Ijab
tidak diperbolehkan dengan ber”taklik” (menggantungkan lafal ijab dengan
sesuatu kejadian), seperti lafal “Aku Nikahkan dan Kawinkan engkau dengan
anakku Zainab jika anakku diceraikan dan selesai idahnya” atau “aku kawinkan
dan Nikahkan engkau dengan anakku Zainab jika rumahku terjual” atau lainya.
Sebagaimana dalam fatkhul Muin hal 100:
(لا) يصح النكاح (مع تعليق) كالبيع بل اولى
لاحتصاصه بمزيد الاحتياط كان يقول الاب للاخر ان كانت بنتى طلقت و اعتدت فقد
زوجتكها....
“...tidak sah
nikah dengan ta’liq (menggantungkan ijab dengan sesuatu kejadian) seperti dalam
jual beli, akan tetapi nikah lebih utama karena khusus di dalam nikah dituntut
kehati-hatian, seandainya seorang Bapak berkata kepada seseorang :”Jika anakku
di talaq dan habis iddahnya maka aku nikahkan dengamu..”
77. Lafal
Ijab hendaknya tidak menunjukkan perkawinan atau pernikahan yang terbatas dan
tertentu (di hadkan masanya). Umpamanya wali berkata :”Aku Nikahkan dan Kawinkan engkau dengan anakku
Zainab dalam masa sepuluh tahun” sebagaimana dalam fatkhul muin hal 100:
28
(و)لامع (تأ قيب) للنكاح بمدة معلومة او مجهولة
فيفسد لصحة النهي عن نكاح المتعة وهو المؤقت ولو بالف سنة ....
“...dan (tidak boleh) ijab berserta taqib bagi
Nikah dengan menggantungkan batas waktu
yang diketahui atau tidak diketahui, maka hal tersebut merusak sah dan memberi
faedah larangan pada nikah mut’ah, yaitu nikah dengan batasan waktu walau
batasan waktu tersebut seribu tahun...”
89. Lafal
Ijab harus diucapkan oleh Wali / Wakilnya (setelah menerima pasrah Wali) atau
Wali hakim
L10. Lafal
Qobul hendaknya sesuai dengan lafal Ijab dengan menyebut Nama Calon mempelai
wanita, seperti :”Aku terima Nikahnya/Kawinnya Fulanah binti Fulan...”
111. Qobul harus segera diucapkan setelah Ijab (tidak berselang lama)
dan tidak diselingi dengan perkataan lain diantara Ijab dan Qobul.
12. Lafal Qobul harus jelas, terang dan nyata, bukan kalimat sindiran.
113. Lafal Qobul tidak boleh bertaklik (menggantungkan dengan sesuatu)
dan tidak boleh terbatas waktu, misalnya dengan perkataan “aku terima Nikah dan
kawinya Fulanah binti Fulan jika mobilku terjual...” atau “Aku terima Nikah dan
Kawinya Fulanah binti Fulan selama 10 tahun..”
Hukum
Menyebut mahar dalam akad.
Pembayaran mahar sangat Fleksibel, boleh tunai
saat akad nikah, boleh ditunda hingga setelah akad nikah, boleh dibayar
sebagian di muka dan sebagian di belakang, sebagian tunai dan sisanya dicicil,
dan seterusnya sesuai kesepakatan suami istri itu. Cara apa pun yang dilakukan
tidak mengganggu kesahan akad nikah. Hukum menyebut mahar adalah Sunah karena
rosulullah tidak pernah meninggalkan dari menyebut mahar semasa akad.
Sebagaimana disebutkan dlam nihayatuzzain hal 314 :
و هو الاصل فيه (سن ذكر صداق فى عقد)
لان صلى الله عليه و سلم لم يخل نكاحا منه و لان ادفع للخصومة، نعم لو زوج عبده
بامته و لو كتابية لم يسن ذكره اذ لا فائدة فيه فالتسمية خلاف الولىو قد يجب ذكره
لعارض لكن لا يبطل العقد بتركه....الخ
29
“....Mahar menurut asalnya adalah sunah untuk menyebutkan kesesuain
(kadarnya) di dalam akad, karena Rosululloh SAW tidak pernah meninggalkan
menyebut mahar dalam akad, menyebut mahar itu juga untuk menghindari
pertentangan, begitulah...jika seorang menikahkan budaknya (lk) dengan budak
perempuan kitabiyahya maka tidak disunahkan menyebutkan mahar, karena tidak ada
faedah didalamnya. Adapun menyebut mahar terkadang diwajibkan karena ada suatu
penyebab yang dituju, akan tetapi akad tidak batal dengan tidak disebutkanya
mahar....”
Dalam Kifayatul akhyar 60/2 disebutkan:
و يستحب
تسمية المهر فى النكاح فان لم يسم صح العقد
“Dan disunahkan menyebut mahar di dalam akad nikah, akan tetapi
jika tidak disebut akad nikah menjadi sah.."
Salah
sebut mahar dalam akad.
Ulama-ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan mahar
sebagai mâ wajaba binikâhin aw wath’in aw tafwîti bidh‘in qahran.
(Lihat: Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah). Tetapi, walaupun hukumnya
wajib, mahar tidak harus disebut (kadarnya, bentuk barangnya, dsb.) pada saat
akad nikah. Semua mazhab fikih sepakat bahwa penyebutan mahar bukan
syarat sahnya akad nikah. Nah, kalau tidak disebut saja boleh, maka tentu kalau
keliru menyebutnya pun bisa dimaklumi tanpa menggugurkan kewajiban suami untuk
membayarnya.
Namun pertanyaan yang timbul adalah, Jika salah sebut,
“mana yang harus dibayar oleh mempelai laki-laki, yang tertulis dalam akad
nikah atau yang terucap?” dalam hal ini, Jika tidak terjadi perselisihan, kedua
calon mempelai redha dan sudah maklum dengan mahar yang sudah disepakati
sebelumnya, maka pihak laki-laki membayar sesuai kesepakatan.
Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah (tdk
musamma), kemudian terjadi perselisihan antara keduanya, maka wajib atas
laki-laki membayar mahar mitsil (mahar yang menjadi ukuran keluarga mempelai
wanita yang dijadikan standar akad nikah/mahar yang ditentukan oleh keluarga
mempelai wanita berdasarkan adat yang berlaku di kelurga dan lingkunganya) .
adapun Nikahnya tetap sah.
30
Sebagaimana disebutkan dalam Nihayatuzzain 315 :
و اذا
اختلفا) اى الزوجان (في قدره) اى مهر مسمى كان قالت نكحتنى بالف فقال بخمسمائة
(او) فى (صفته) كان قالت بالف دينار فقال بالف درهم او قلت بالف صحيحة فقال بالف
مكسرة (و لا بينة) لواحد منهما او لكل منهما بينة و تعارضتا (تحالفا) كما فى البيع
و يبدا هنا بالزوج لقوة جانبه ببقاء البضع له (ثم) بعد تحالف (يفسخ) المهر
(المسمى) بالبناء للمجهول اى يفسخه كلاهما او احدهما او الحاكم و ينفذ الفسخ باطنا
ايضا من المحق فقط لمصيره بالتحالف مجهولا و من الكاذب بفسخ القاضى و لا يفسخ
المسمى بنفس التحالف كالبيع ( و يجب مهر مثل) و ان زاد على ما ادعته الزوجة ....
“Ketika terjadi perselisihan antara dua orang suami istri terhadap ukuran
mahar yang telah disebutkan, (seperti) ketika
istri mengatakan “engkau nikahi saya dengan mahar seribu, kemudian suami
mengatakan: (bukan seribu) tapi lima ratus...”. Atau kedua berselisih pada
sifatnya, seperti seorang istri mengatakan:”Kamu nikahi saya dengan mahar 1000
dinar..” tetapi suami mengatakan:” dengan 1000 dirham...” atau istri
mengatakan:”dengan seribu benar/penuh...” suami mengatakan:”dengan seribu yang
terpecah-pecah (terbagi/bukan sekaligus)...”. dan (kadar mahar) yang tidak
jelas antara keduanya, atau sudah jelas tapi kemudian keduanya berselisih
sesudahnya, sebagaimana perselisihan dalam jual beli. Dan nyata disana suami
kuat menentangnya dengan tetapnya perkataanya pada mahar. Kemudian setelah keduanya berselisih, dihapuslah mahar
musamma (yg sudah disebutkan) karena sebab tidak diketahuinya (mahar), atau
keduanya menghapuskanya/salah satu dari keduanya/ hakim, dan habislah dengan
pembatalan didalamnya dari orang yang seharusnya berhak karena adanya
perselisihan yang tidak diketahui,dan dari kebohongan dibatalkan oleh hakim,
dan (akan tetapi) tidak dibatalkan mahar musamma dengan sebab perselisihan itu
seperti halnya dalam jual beli (gagal). Dan (akan tetapi) Wajib bagi seorang
suami untuk membayar Mahar Mitsil atau lebih sesuai dengan permintaan pihak
mempelai wanita...”